Jakarta – Penangkapan hakim Djuyamto oleh Kejaksaan Agung dan beberapa hakim dalam kasus suap vonis ekspor CPO kembali menelanjangi borok lama di tubuh lembaga peradilan. Namun yang membuat kasus ini mengusik rasa keadilan publik adalah fakta bahwa Djuyamto adalah hakim yang memutus tidak diterimanya gugatan praperadilan Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, yang sebelumnya dianggap punya landasan hukum kuat.
Praktisi media dan pendiri Beranda Ruang Diskusi, Raldy Doy, mempertanyakan apakah putusan tersebut sungguh-sungguh lahir dari pertimbangan hukum, atau justru bagian dari skenario intervensi kekuasaan.
"Jika hakim yang memutus perkara Hasto kini ditangkap karena dugaan suap, maka kita berhak bertanya: apakah putusan itu murni? Atau jangan-jangan hukum telah dijadikan alat kekuasaan?" kata Raldy, Senin (21/4).
Raldy menilai kasus ini bukan sekadar mencoreng wajah peradilan, tapi mengoyak kepercayaan rakyat terhadap institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Ia mengaitkan peristiwa ini dengan kasus Thomas Lembong (Tom Lembong), yang juga pernah mengalami dugaan manipulasi hukum karena sikap kritisnya terhadap penguasa.
"Kita lihat pola yang sama: kriminalisasi berbasis rekayasa hukum. Hari ini Hasto, kemarin Tom Lembong. Jika tokoh-tokoh politik dan teknokrat saja bisa diperlakukan demikian, bagaimana nasib rakyat biasa?" tegasnya.
Raldy juga mengaitkan momen Paskah dengan refleksi atas kondisi hukum di Indonesia. Menurutnya, Paskah bukan sekadar simbol penderitaan, tapi juga panggilan untuk bangkit dari kematian moral.
"Luka hukum kita bernanah, karena tidak pernah disembuhkan dengan transparansi dan keadilan sejati. Ini bukan soal satu dua hakim, tapi soal sistem yang perlu dibenahi ," ujar Raldy.
Ia mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk bertanggung jawab, termasuk melakukan audit putusan-putusan kontroversial yang pernah dibuat hakim-hakim bermasalah. Termasuk kemungkinan membuka kembali kasus praperadilan Hasto.
"Reformasi hukum tak bisa ditunda. Jika bangsa ini mau bangkit, maka hukum harus kembali ke relnya: melindungi rakyat, mewujudkan keadilan dan kebenaran jangan juga menjadi alat kekuasaan," tutupnya.