Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (JarNas Anti TPPO) mengecam keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Rudy Soik, seorang perwira polisi yang dikenal berprestasi dalam penanganan kasus-kasus perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur. Keputusan ini diambil oleh Komisi Kode Etik Polri, dipimpin oleh Kombes Pol. Robert Antoni Sormin, S.I.K, Kabid Propam Polda NTT, dengan Wakil Ketua dari Ditreskrimsus Polda NTT, serta didampingi oleh Kompol Nicodemus Ndoloe.
Rudy Soik dikenal karena keberhasilannya dalam menangani kasus perdagangan manusia di Kupang, NTT. Namun, keberhasilannya ini justru mengganggu pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam bisnis ilegal tersebut, yang merasa terancam. Hal ini diduga menjadi alasan mengapa Rudy kemudian dipindahkan dan akhirnya menghadapi sidang etik yang berujung pada pemecatan.
Menanggapi pemecatan ini, Ketua Umum JarNas Anti TPPO, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menyatakan bahwa keputusan tersebut merupakan kemunduran bagi institusi penegak hukum. "Polisi seharusnya memberikan apresiasi kepada anggota seperti Rudy Soik yang berani mengungkap kasus-kasus perdagangan orang yang merugikan banyak pihak," ujar Saraswati dalam keterangan yang diterima, Sabtu (12/10).
Ia juga mempertanyakan dasar dari pemberhentian tersebut, mengingat Rudy memiliki rekam jejak yang baik selama bertugas.
Sikap serupa disampaikan oleh Ketua Harian JarNas Anti TPPO, Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus. Melalui telepon, ia menyayangkan keputusan Polda NTT dan menegaskan bahwa JarNas Anti TPPO akan mendukung Rudy Soik dalam memperjuangkan hak-haknya.
"Kami akan mengirimkan surat resmi kepada Kapolri terkait keputusan ini," tegasnya.
Keputusan PTDH terhadap Rudy Soik menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan keadilan dalam proses internal kepolisian, terutama terhadap anggota yang berkomitmen memerangi kejahatan seperti perdagangan manusia.